Sabtu, 13 Agustus 2011

CArd Ring Back Tone AnD Sejarah LAgu Pop Melayu Di Indonesia

CarD Ring Back Tone Ku
1.ArMaDa - Pemilik Hati
2.ZiViLiA - Kokoronotomo
3.D'Bagindas - Suka Sama Kamu
4.Dadali - Di Saat Aku Mencintaimu
5.Wali - Doaku untukmu Sayang

Beberapa grup penyanyi berusaha membawakan lagu-lagu melayu sumatera untuk membedakannya dengan melayu dangdut. sebagian besar penyanyi pop tidak berhasil mengungkapkan warna melayu dangdut. (ms)
Pernah aku melihat musik di Taman Ria Iramanya melayu, duhai sedap sekali

Sulingnya suling bambu, gendangnya kulit lembu. Dangdut suara gendang, rasa ingin berdendang

Herajana .........Herajana Itu lagunya, lagu India Lagu Oma Irama

***

TIDAK sedikit orang meramalkan corak musik pop yang kebanyakan sedang meminjam lagu-lagu melayu Jaman tahun 50-an, bakal mampu bertahan sampai dua tahun yang akan datang. Masih mending sebenarnya dibanding pop Jawa yang sebelumnya pernah merebut pasaran dan cuma bertahan kurang dari setahun. Atau pop keroncong yang kehadirannya, walaupun masih terasa hingga sekarang, tidak sekukuh pop melayu. Corak melayu dalam pop bahkan sudah berjalan lebih dari setahun yang lalu. Kini, entah biduan-biduan setuju atau sebenarnya terpaksa, tapi memang sukar untuk menemukan penyanyi pribumi yang luput dari lagu-lagu melayu - setidaknya, sebuah dalam keseluruhan karirnya.

Tapi demam melayu yang kini sedang melanda musik pop Indonesia sekaligus menunjukkan sebuah krisis di balik itu. Memang sifatnya cuma sementara, sebab ini hanya sebuah mode. Namun merambahnya pop melayu memang dibarengi turunnya grafik dalam kwalitas musik pop lndonesia umumnya. Pada mulanya, menjelang tahun 70-an, ada sedikit harapan dengan munculnya lagu-lagu pop Sitompul Sisters misalnya. Ternyata yang diharap di samping kebanyakan aktif dalam show, umurnyapun tidak terlalu lama. Bob Tutupoly, biduan asal Surabaya yang sebenarnya punya banyak harapan, lebih suka tinggal di negeri orang. Emilia Contessa, bocah yang tadinya juga diharapkan sukses, akhirnya hanya sekedar terkenal ke sana-ke sini -- entah terkenal apanya. Hampir sekeranjang penyanyi lain seperti Frans Daromez. Muhsin, Titiek Sandhora, Ida Royani. Broery Pesulima, mengalami nasib yang sama. Kecuali Benyamin dan pasangannya Ida Royani atau Lilies Suryani dan Titiek Puspa barangkali yang kondisinya maju tidak, mundur pun tidak. Barulah ketika muncul beberapa kelompok grup, keadaan yang tadinya adem ayem mulai memperlihatkan sebuah gairah. Kompetisi hebat mulai terjadi. Bahkan dalam periode ini beberapa penyanyi solo mulai teerdesak. Koes Bersaudara, yang muncul kembali pada tahun 1969, dua tahun kemudian menampakkan gigi. Dengan nama Koes Plus mereka turut membawa musik pop Indonesia pada grafik yang menaik. Setelah itu Panbers, Mercy's, Favorit pada menyusul membantu garis yang kian meninggi. Ditambah ketika Bimbo, grup dari Bandung dengan idealismenya, mengukuhkan kondisi mutu musik pop Indonesia pada taraf yang boleh diperhitungkan. Dan orang mulai punya harapan. Lebih-lebih ketika akibat persaingan yang tajam, grup-yang mampu masuk ke tahun 1975 ternyata grup-grup yang disebut terakhir itu - di samping beberapa penyanyi solo, seperti Tetty Kadi sebagai satu-satunya penyanyi yang panjang umur.

Tahun-tahun tersebut ditandai misalnya oleh terciptanya banyak lagu yang cukup berisi, di samping yang cengeng. Namun taroklah itu hanya satu permulaan, gejala untuk memberi banyak perhatian pada aransemen, sudah tentu merupakan pertanda bagus. Derita dari Koes Plus, Mawar Berduri dari Ryanto atau Flamboyan dan Melati Dari Jayagiri dari Bimbo, cuma contoh-contoh yang sedikit dari beberapa karya yang boleh mengagumkan. Kreasi untuk mencari corak baru misalnya saja percobaan pop Jawa atau pop Keroncong. walaupun tidak banyak berarti. Lihat tulisannya bagaimana Bimbo selalu mencoba mencari warna-warna baru yang kini memang terasa memperkaya khasanah pop Indonesia. Beberapa lagu yang tempo hari katanya masih sukar diterima publik, sekarang menjadi santapan. Bahkan lagu-lagu kasidahannya bisa dicatat sebagai yang paling berhasil di antara grup-grup yang juga memainkannya.

Bukit Siguntang

Tapi bagaimana dengan warna melayu dalam pop kita? Beberapa grup penyanyi memang ada usaha untuk misalnya membikin corak tersebut dengan sedikit telaten. Beberapa di antaranya juga ada yang mengungkapkan lagu-lagu melayu Sumatera -- untuk membedaka dari melayu dangdut. Tidak seluruhnya berhasil, kecuali misalnya grup Mercy's untuk melayu Deli. Lagu Injit-Injit Semut, walaupun tidak meninggalkan sama-sekali aslinya, terasa ada bentuk baru yang lebih segar. Beberapa lagunya yang lain misalnya Joget Gembira dan Kembalilah dibawakan dalam aransemen yang inovatif. Bahkan Bunga Mawar hampir setiap hari diputar di radio-radio. Mercy's barangkali bisa disebut kelompok yang memang sukses dalam corak pop melayu. Walaupun cacadnya bukan tidak ada. Mungkin karena dorongan komersil yang begitu kuat, grup asal Medan itu punya lagu-lagu yang ternyata hasil comotan kasar. Perhatikan saja misalnya Dendang Sayang yang nyaris tidak jauh beda dengan sebuah lagu melayu lama yang dinyanyikan Said Effendie.

Masih banyak penyanyi lain yang mencoba membawakan lagu-lagu melayu antik corak Sumatera. Misalnya Wiwiek Abidin atau Mus Mulyadi di samping beberapa lagu dangdut. Tidak terlalu berhasil, selain terasa ada semacam pemaksaan terhadap vokal yang sebenarnya kurang cocok. Bahkan patut diherankan bahwa rekaman Mus Mulyadi, penyanyi yang sangat berhasil dalam membawakan lagu-lagu keroncong itu, menggunakan iringan orkes melayu Serumpun pimpinan A. Chalik. Suara Mus Mulyadi memang bukan untuk melayu, namun - atau justru karena itu -- musik yang datang dari orkes pimpinan bekas sesepuh Bukit Siguntang itu (sangat beken pada tahun 50-an) hampir tidak menolong sama-sekali. Sangat dingin, tanpa vitalitas. Bagai sayur tadi malam.

Melayu Mentengan

Tapi dalam mengungkap warna melayu dangdut, adakah biduan pop yang berhasil? Tidak seluruhnya - dan porsi itu rupanya merupakan bagian terbanyak. Mulai dari Deddy Damhudi, Titiek Puspa, sampai Koes Plus bahkan Bimbo. Kecuali secara komersil--sebab motifnya memang duit. Misalnya Bimbo (yang banyak disangka orang tidak bakal merekam dangdut) berhasil menyajikan musik yang berkenan dari jenis tersebut. Beberapa lagunya betul-betul memanfaatkan instrumen gendang sebagai ciri corak dangdut. Sementara lirik lagunyapun dibuat sederhana. Pacarku Manis yang dibawakan Syamsudin dan Meringis dan Merinding yang dibawakan bersama Iin, merupakan lagu-lagu yang kini lebih populer ketimbang dangdut Koes Plus. Iin Parlina dengan vokalnya yang masih tetap dipertahankan, tidak membuat dangdutnya seperti Sinar Kemesraan Koes Plus yang kececeran. Sementara beberapa ciri Bimbo sendiri masih tetap terpelihara.

Di situ barangkali kelebihannya. Sebab Koes Plus dalam album pop melayunya sudah sama sekali tidak punya ciri Koes Plus lagi. Sudah menjadi Koes Plus tahun 75. Akan halnya Titiek Puspa, biduan yang tahan luntur ini, nampaknya pop melayunya sukar masuk ke kuping awam. Baik lagu maupun musiknya terasa terlalu berat bagi pendengar yang lebih suka aransemen dan lagu-lagu yang sederhana. Titiek tidak melakukan hal yang sudah dilakukan Bimbo. Biduanita yang lagunya pernah mendapat juara dalam festival pop Agustus yang lalu, nampaknya terlalu "tinggi" buat turun ke bawah. Beberapa lagunya misalnya Apa 'tuh, di samping kocak memang ditempel dengan aransemen yang agaknya disiapkan secara teliti. Mestinya laku. Namun banyolan dalam liriknya lebih cenderung untuk konsumsi kaum Mentengan, itulah.

Dari sekian banyak penyanyi atau grup lagi, tidak bisa dilupakan D'Lloyd. Grup yang pertama membawakan corak pop melayu ini nampaknya lebih suka menjajakan barang jadi: lagu-lagu lama yang diaransir kembali. Seroja, atau Semalam di Malaya misalnya. Grup ini lebih tenang, namun cukup banyak penggemarnya. Pun nampaknya lebih suka cari jalan selamat. Tidak terlalu riskan secara komersil, karena itu lagu pop nelayunya tidak luar biasa.

Corak Asal Dangdut

Sampai sejauh mana gejala bermelayu ini membantu perkembangan musik pop Indonesia? Sebenarnya memang terlalu pagi untuk disebut "nihil". Memang terasa tersendatnya gairah mencipta lagu. Namun kegemaran menggunakan stok lama yang sudah tersedia baik lagu-lagu melayu Sumatera maupun dangdut--tidak mematikan samasekali kreativitas. Sebab masih ada pekerjaan yang bisa digarap, misalnya untuk menyusun aransemen yang cocok dan lebih menarik. Lagu Boneka Dari India, contohnya tidak kurang dari tujuh grup atau penyanyi yang membawakannya. Masing-masing dengan gaya sendiri-sendiri--yang laku misalnya yang dibawakan grup Favorit.

Namun ada juga beberapa grup yang lebih suka membikin sendiri lagu-lagunya. Bimbo termasuk yang terakhir itu - meskipun seperti juga Koes Plus. Mercy's dan beberapa yang lain, lagu baru yang diciptakannya hampir merupakan bagian dari beberapa lagu lama. "Koes Plus dalam album pop melayunya yang pertama terlalu jorok", ujar Husein Bawafie yang merasa beberapa lagunya dijiplak. Memang bisa diperhatikan misalnya lagu Koes Plus yang mirip Khayal dan Penyair ciptaan Husein dan sebuah lagu yang mendompleng ketenaran lagu Amid Dunianya Suhaemi. Sama seperti Bimbo dalam lagu Terlambat Sudah, yang nampaknya mendapat ilham dari lagu Ellya Khadam Pergi Tanpa Pesan.

Namun dari keseluruhan mode pop melayu, ciri yang kemudian nampak antara lain kecenderungan untuk membuat corak "asal dang-dut". Contoh yang bisa dipakai untuk membuktikan hal tersebut adalah rekaman yang dibawakan Is Haryanto dalam lagu Kembalilah. Lagu itu di samping merupakan jiplakan mentah-mentah dari lagu Barat yang pernah populer Come Back Liza, aransemennya betul-betul memuakkan. Gendang yang dipukul dangdut dipaksakan terselip. Keterlaluan memang.

Namun yang lebih penting adalah bahwa semua penyanyi maupun grup, yang membawakan pop melayu, terjatuh pada warna yang sama. "Semuanya jadi seragam", ujar Mus Mualim. Karena bagi para biduan itu, yang penting adalah bagaimana agar musiknya menimbulkan dangdut. Beberapa grup menggunakan gendang, tapi ada juga yang cuma mengandalkan drum dibantu petikan bas. Justru dengan "kesederhanaan" itu, penyanyi atau grup yang betapapun bagusnya tidak punya, kesempatan banyak untuk menunjukkan kelihaiannya. Bisa dicatat barangkali, baru dalam periode inilah Koes Plus yang biasanya selalu di atas menjadi sama sekali jatuh terduduk. Sedang Bimbo yang tempo hari secara komersil kurang laku, kini boleh pasang tarif lebih tinggi. Selamat.

Dangdut Enerjetik

Pengaruh mode yang bersifat musiman dalam dunia musik pop memang bukan barang aneh. "Sifat musik pop mengembara dan selalu ingin mencari sesuatu yang dianggap baru", ujar Mus Mualim. Antara-lain berupa penggarapan tema-tema lama misalnya yang disajikan dalam bentuk baru. Di Amerika, lewat musik Elton John yang mengungkap tema musik Rag-Time tahun 20-an, "penggarapan itu menghasilkan barang yang matang", ujar Iskandar dari RRI. Sebaliknya dengan musim pop melayu sekararg "tidak ada yang bisa saya nilai, semuanya sudah serba seragam", ujar Mus Mualim. "Bahkan moral musik pop Indonesia dirugikan", katanya.

Sebenarnya masih mendingan pop Indonesia yang tidak berciri. Melayu. Sebab menurut Mus Mualim, pada corak pop yang biasa itu "masih ada yang bisa kita nilai, misalnya lagu dan aransemen musiknya". Itulah sebabnya dalam musik pop Indonesia - untuk membedakan dengan corak musik pop melayu - masih akan bisa dilihat suatu persaingan, mutu di antara penyanyi maupun grup-grup. Bimbo dan Riyanto dengan grup Favorit misalnya, kelihatan lebih unggul dibanding grup yang lain. Walaupun di pasaran tidak selaku Koes Plus. Atau bahkan menurut Mus Mualim, lagu-lagu melayu yang datang dari kelompok orkes melayu masih punya hal yang bisa dipermasalahkan. Misalnya saja vokal penyanyi-penyanyi melayu yang punya seni tersendiri. Atau bahkan bagaimana mereka memilih intro yang menarik sebelum masuk lagu.

Sekarang bisa dilihat orkes melayu Soneta pimpinan Oma Irama. Rekamannya merupakan yang paling laku. Tidak kalah dengan El Sitara pimpinan Ellya Khadam, Soneta mampu menampilkan ciri-ciri melayu dangdut secara kaya. Bahkan Oma memasukkan unsur pengaruh musik pop Barat dari Jimmy Clif misalnya dalam lagu Anak Kera yang kocak itu, tanpa meninggalkan dangdut Indianya. Dalam corak melayu ini, yang menarik adalah bagian intro. yang panjang lewat mandolin, biasanya lantas disambung, akordeon atau organ dan mungkin masih ada tambahan gitar melodi, baru masuk vokal. Sementara gendang yang dipukul sambil diurut membuat bunyinya tidak monoton, diperkuat dengan petikan bas sangat dominan dalam keseluruhan musik. Belum lagi break-break yang selalu hadir dalam hampir setiap perpindahan kuplet lagu atau terutama menjelang refrein - yang membuat lagu-lagu dangdut dinamis dan enerjetik. Sementara gendang berfungsi memberi ritme bersama bas, break-break itu seolah-olah sebuah introduksi untuk memberi perhatian akan link-link lagu. Itulah yang menyebabkan syair lagu-lagu melayu lebih menonjol ketimbang aransemennya. Walaupun sama-sama pentingnya. Misalnya pada lagu-lagu Sebuah Nama, Pantun Cinta, Janda Kenbang, yang umumnya dibawakan berdua antara Oma Irama dan Elvy Sukaesih.

Memegang Buntut Saya

Tapi lantas kenapa melayu dari jenis pop menjadi sedemikian larisnya? Lewat Ferry Iroth dari Remaco. "Dari tanya sana-sini pada dealer maupun toko-toko kaset, saya tahu pop dengan warna melayu pasti punya penggemarnya", kata Ferry Iroth dari Remaco. Dan memang berhasil. Tapi tentu, saja di samping sudah lama masyarakat gemar, unsur surprise membantu banyak lakunya pop melayu. "Masyarakat itu suka yang serba baru", ujar Khadam, suami Ellya. Dan itu dipenuhi oleh penyanyi mau pun grup-grup pop yang selama itu jarang menyentuh lagu-lagu Melayu. Bahwa ternyata biduan pop menyanyikan lagu melayu, ini suatu gejala yang baru. Aneh dan mengundang keinginan tahu lebih lanjut. "Iho kok band nyanyi melayu. Nah yang kok, kok, inilah yang bikin penasaran pendengar", ujar Khadam lagi. Ibarat orang pakai baju merah pada terik siang hari. "Bisa bikin kaget", tambah sang nyonya. Tapi itulah pula sebabnya Ellya tetap berpendapat: "yang bikin kaget itu biasanya cuma bertahan sebentar, kemudian tidak akan aneh lagi".

Dan memang Ellya Khadamlah, penyanyi lagu-lagu melayu yang lewat tiga tahun lalu - ketika lagu-lagu melayu masih dicap kampungan ketika grup-grup dan penyanyi pop nyaris mendesak orkes-orkes melayu - masih punya harapan. Katanya: "bagaimanapun saya percaya, lagu-lagu melayu tidak akan hilang". Ucapannya memang terbukti. Bahkan bukan hanya tidak punah, bahkan semakin menjadi-jadi. Dialamatkan kepada grup dan penyanyi pop, Ellya tersenyum senang. Di samping merasa diuntungkan, "lihat sekarang mereka pegang buntut saya", katanya. Mereka anggap orkes melayu tidak bisa meniru musik pop. Tapi sekarang, "saya bisa jalan tanpa mereka, tapi apa mereka bisa jalan tanpa kita?", tanya Ellya mengejek. "Coba bayangkan lagu seperti oneka Dari India yang sudah berumur 20 tahun itu masih mereka pakai".

Buka Baju & Sepatu

Lantas, perlu juga dilihat keterlibatan pengusaha rekaman dalam menentukan corak musik. Merosotnya mutu musik pop Indonesia memang bisa disalahkan pada para musisi sendiri. Tapi tentu saja tidak adil untuk melimpahkan seluruhnya. "Sukar untuk membicarakan musiknya sekarang ini, sebab yang teras adalah dagangnya ujar Mus Mualim. Menunjuk Koes Plus dalam periode lagunya yang berjudul Derita, atau Bimbo dalam rekaman-rekamannya yang pertama, hasilnya bukan main. "Sekarang mutunya merosot, sebab mereka sekarang buruh kontrakan", ujar Mus Mualim - yang juga telah merekam pop melayu melalui grupnya Indonesia Lima.

"Titiek juga ikut merekam pop melayu", ujar Mus lagi menunjuk isterinya, dan sayapun sebenarnya terkena". Dan sambil cepat-cepat membela, "tapi kewajiban musisi untuk memenuhi selera pendengar. That is The People want", katanya.

Kewajiban atau bukan, yang penting baik musisi maupun pengusaha rekaman perlu hidup. "Kalau kami merekam yang bukan selera publik, tidak sampai dua hari perusahaan kami akan ambruk", ujar Ferry Iroth. Soalnya menurut Ferry, yang mengerti musik di negeri ini cuma sedikit, di samping mereka cepat bosanan. Mencari yang laku sudah tentu merupakan prinsip yang utama "Lihatlah", katanya, "rata-rata yang kontrak dengan kami sudah bermobil semua". Memang kadang-kadang terlintas pertanyaan sampai sejauh mana mutu bisa berjalan sama-sama dengan kepentingan komersil. Tapi hal itu "sukar dibicarakan", ujar Jack Lesmana yang kini punya studio rekaman Calebrity. Sebagai pengusaha rekaman, katanya ia juga akan berbuat sama. "Bodoh kalau saya tidak mau berbuat itu. Apakah saya harus menjual beafsteak di tempat orang yang menyukai gado-gado", ujar Jack.

Ia katanya akan berdiri di dua tempat. "Saya akan melihat segi komersilnya sebagai pengusaha dan akan mengandalkan mutu musiknya sebagai musisi", katanya pula. Tapi bisakah? Dari fihak Ferry Iroth sudah jelas. "Sukar untuk berjalan sama-sama antara mutu dan kepentingan komersil, sebab kami memang dagang sih".

Pop melayu, bagaimanapun sudah melengkapi peta musik pop Indonesia. Senang atau tidak, corak ini telah menambah khasanah musik negeri. "Saya anggap periode pop melayu ini hanyalah sebuah interlude", ujar Mus Mualim, "di mana orang boleh buka baju dan buka sepatu". Suatu saat penyanyi atau grup-grup pop itu akan rindu kembali dengan pop yang biasa. Memang barangkali tahun 1975 merupakan masa istirahat bagi para musisi pop yang kecapaian atau sudah kehabisan bahan. Siapa tahu masa berikutnya akan tampil musik dengan corak yang lain lagi. Sekarang ini, mari buka baju dan buka sepatu. Kita nyanyi lagu dangdut.

Pernah aku melihat, musik di Taman Ria Iramanya melayu, duhai sedap sekali

Pasaran sebagai ukuran

Rekaman kaset lagu melayu baru, nampaknya sulit untuk bersaing dengan penyanyi yang sudah terkenal. rekaman kaset lagu-lagu itu dipromosikan melalui berbagai macam media massa. (ms)
MENGENAI pejuang untuk menjadi biduan tenar Mus Mualim menyebut jumlah Rp 50 sampai 75 ribu bagi pendatang baru - sebagai imbalan bagi mereka yang berminat merekam rata-rata 10 lagu. Angka ini tentu jauh lebih kecil dibanding misalnya tarif Koes Plus yang untuk satu kali rekaman saja konon mendapat imbalan sebuah Corola. Jumlah yang tidak banyak itu sudah pasti berhubungan dengan pertimbangan komersiil. Tidak banyak cukong yang mau mengontrak pendatang baru. "Risikonya terlalu besar", ujar Darmawan Sutanto dari perusahaan rekaman Yukawi. Kalaupun ada, oplag rekaman cuma ratusan saja. Sebab dengan cara itu "kemungkinan rugi tipis, atau pokoknya asal pulang modal saja", ujar Darmawan. Rekaman bagi keIompok yang diperkirakan tidak menguntungkan itu biasanya memang nebeng kaset grup yang dianggap laku.

Kemungkinan munculnya grup atau penyanyi baru, saat ini nampaknya sulit sekali. Dari hampir 25 grup yang pernah kontrak dengan Remaco, jumlah itu menciut tak lebih dari 10 buah. "Rekaman selebihnya tidak laku dan tentu saja tidak memperpanjang kontrak", ujar Ferry Iroth. Kecuali kalau ada grup atau penyanyi yang membawa ciri tersendiri, bukan tiruan dari yang sudah ada. Sementara seperti Koes Plus, Panbers, Mercy's atau Bimbo sudah terlanjur kuat dan sukar digeser. Mereka bahkan tambah komersil. Misalnya, "Bimbo semakin populer, tapi mutunya semakin turun", ujar Ferry. Di samping sukar untung, untuk bersaing dengan grup atau penyanyi-penyanyi itu, pendatang yang baru coba-coba bikin rekaman masih dihadapi persoalan lain. "Kuat sewa studio, kuat nyetak kaset, belum tentu kuat menembus rasaran", ujar Darmawan. Taroklah bisa mampir di dealer dan toko-toko kaset. Tapi bila tergeletak paling bawah, tambah jarang diputar untuk promosi. Maka jangan harap laku.

Radio-Radio

Perdagangan kaset, sekarang nampaknya obyek yang empuk buat cari duit. Dan biasanya dijadikan sumber informasi bagi pengusaha rekaman atau para cukong untuk mengetahui selera publik. Toko Sinar misalnya, di bilangan Taniung Priuk, sampai 5 buah kaset bisa terjual di sana per harinya. Dan per bulannya 30 sampai 40 rekaman baru diambil dari gedung pertokoan Harco di Glodok. Lebih dari nya merupakan lagu-lagu melayu. Kebanyakan yang dicari di daerah ini adalah lagu-lagu melayu Koes Plus, D'Lloyd dan Bimbo. Lain dengan toko milik Purwadi, di daerah yang sama - yang laku adalah lagu-lagu melayu Oma Irama. Sama halnya dengan di Tanah Abang, di toko Tiga Saudara, pernah rekaman orkes melayu Soneta dalam dua hari terjual sampai 50 buah. Selain itu beberapa tempat penjualan dikuasai oleh distributor sebuah perusahaan rekaman tertentu.

Begitu juga dengan radio-radio non RRI yang sering dimanfaatkan buat promosi rekaman yang baru. Di samping dengan iklan, ada juga yang memutar lagu-lagu baru itu karena memang disukai. Hampir lebih setengah penggemar radio itu memutar lagu-lagu pop melayu. Bahkan di radio Agustina Yunior ada acara yang disebut "pop dangdut", setiap pagi hari. Di samping ada khusus acara pilihan pendengar lagu-lagu melayu. Di studio radio yang punya publik sampai ke daerah Karawang itu, orkes melayu Soneta sering diminta orang. Sementara katanya yang sedang populer adalah Boneka Dari India rekaman favorit, di samping lagu Bimbo yang sabarnya akan segera menggesernya.

Sama dengan radio Cenderawasih. Di sini pop melayu dan lagu-lagu melayu dari orkes, sama-sama kuat. Bahkan memang ada semacam kerjasama dengan pengusaha rekaman untuk mengorbitkan sebuah grup baru atau lagu baru. Tidak jelas berapa biayanya. Namun menurut Darmawan dari Yukawi, kita pilih grup yang sudah populer atau yang mungkin populer untuk dipromosikan". Besar biaya misalnya tempo hari untuk memperkenalkan No Koes, sama dengan ongkos kontrak dengan grup tersebut. Artinya 100%. Kini memang sedang dijajagi kemungkinan promosi lewat tivi. "Sampai sejauh ini pengaruhnya ada", ujar Darmawan. Dan alat promosi lain yang kini menjadi mode di kalangan pengusaha rekaman adalah koran. Tapi dalam bentuk misalnya: "grup atau penyanyi yang di bawah ini masih berada dalam kontrak dengan kami". Disebutlah satu-persatu misalnya Bimbo: Drs. Syamsudin, Acil SH, Jaka dan Iin. Dan sebagainya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar